MAKASSAR, NEWSURBAN.ID – Dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik Unhas/Anggota Himpunan Ahli Teknik Hidrolik Indonesia (HATHI) Farouk Maricar menilai kolam retensi minim di pemukiman padat penduduk salah satu pemicu genangan air di Makassar.
Sejak memasuki awal bulan Februrari 2023, cuaca ekstrem melanda Makassar dan sekitarnya. Pada puncaknya genangan mecapai titik kulminasi akibat pusaran air laut perairan Sulawesi Selatan bagian barat mengalami pasang surut hingga tumpah ke daratan dan nyaris lumpuhkan aktifitas masyarakat.
Daerah pesisir pun tak luput dari genangan, Berdasarkan data Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa curah hujan pada tanggal 13 februari 2023 mencapai 243.2 mm/hr. Sedangkan kondisi cuaca masuk kategori ekstrem apabila curah hujan = 200 mm/hari.
Baca Juga: Makassar Banjir Parah Hampir Seluruh Wilayah Terendam, Danny: Innalillahi
Menurut Farouk Maricar, berdasarkan dari pantauan pada Bendungan Bili-bili yang mengendalikan air dari hulu Sungai Jeneberang dalam kondisi normal. Demikian pula Kolam Regulasi Nipa-nipa juga tercatat dalam kondisi normal.
Sementara wilayah kota termasuk di daerah pesisir, Kata Dia, mengalami banjir dan genangan karena curah hujan yang tinggi. Namun tidak dapat mengalir secara normal akibat muka air laut yang relatif tinggi.
“Namun demikian, kita tetap harus mewaspadai kejadian ekstrem ke depan dengan menjaga kinerja Sistem Drainase yang ada. Agar kinerja tetap baik. Menjaga koneksitas antar Drainase Primer dan Sekunder/Tersier,” ungkap Farouk saat dihubungi di sela-sela aktivitasnya di Makassar, Jum’at, 17 Februari 2023.
Faraouk Maricar pun kemukakan beberapa contoh saluran drainase yang tidak optimal dan saluran drainase yang mengalami penyempitan di beberapa titik di Kota Makassar. Kondisi ini, mengakibatkan timbulnya genangan saat curah hujan tinggi.
Baca Juga: Danny Pomanto dan Jajaran Turun Langsung Evakuasi Warga Terdampak Genangan Air di Makassar
“Ada beberapa contoh saluran drainase di Kota Makassar yang tidak dalam kondisi optimal adalah Cross Drain di Jalan Pettarani yang penuh dengan utilitas. Seperti kabel dan pipa selanjunya Jalan Andi Jemma yang tidak optimal akibat penyangga beton tidak dibersihkan. Sehingga sampah tersangkut di dalam saluran. Sementara Sungai Daya yang terletak tak jauh dari Jalan Poros Provinsi dengan lebar 25 Meter, menyempit di Muara menjadi 1 Meter,” paparnya.
Farouk menegaskan, masyarakat harus menjaga agar tidak membuang sampah di drainase. Karena dampaknya akan terlihat pada saat hujan. Dampak yang timbul adalah kapasitas saluran berkurang serta terjadi penumpukan pada penghalang tertentu. Yang menyebabkan saluran menjadi tersumbat.
Di sisi lain, Pemerintah harus mengontrol pemanfaatan ruang yang mengganggu sistem drainase yang ada.
Selain itu, dalam mengontrol pembangunan, harus memperhatikan Rencana Umum Tata Ruang, terutama daerah sempadan sungai dan alur drainase. Beberapa saluran ditemukan mengalami penyempitan dan pendangkalan akibat perijinan pembangunan yang tidak terkontrol.
Baca Juga: Gubernur Sulsel Salurkan Rp 1,6 M Warga Terdampak Bencan di Takalar
Di samping itu, beberapa wilayah yang awalnya menjadi kantong air berubah menjadi pemukiman. Oleh sebab itu, seyogyanya setiap pengembang yang melakukan pembangunan dengan memanfaatkan bekas kantong air. Dan, harus mempersiapkan kolam komunal sebagai kolam retensi atau detensi.
Khusus Kota Makassar, System Drainase yang ada terdiri dari System Drainase Primer berupa sungai dan kanal yang menjadi kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang Kementerian PUPR. Sedangkan Drainase Sekunder/Tersier menjadi Kewenangan Kota Makassar, sehingga secara operasi dan pemeliharaan menjadi tanggung jawabnya.
Oleh sebab itu, perlu ada koordinasi antar sector agar koneksitas tetap terjaga. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan diharapkan akan menjadi koordinator untuk mengatasi perbedaan kewenangan tersebut.
Baca Juga: Gubernur Andi Sudirman Raih Penghargaan SAR Awards dari Basarnas
Farouk menghimbau, bahwa curah hujan adalah kondisi alam yang tidak bisa dicegah, oleh sebab itu kita hanya dapat melakukan upaya pengendalian dalam rangka mengurangi dampak, bukan menghilangkan 100%, keberadaan Bendungan Bili-bili dan Kolam Regulasi Nipa-nipa adalah salah satu upaya mitigasi bencana guna mengendalikan kelebihan air/mengurangi dampak banjir di perkotaan.
“Dipandang perlu melakukan upaya mitigasi bencana sejak dini agar dapat mengurangi dampak genangan di kawasan perkotaan sebab curah hujan tidak dapat dicegah, diantaranya dengan adanya Kolam Regulasi Nipa-nipa dan Bendungan Bili-bili serta Kolam Retensi untuk pemukiman perumahan dengan memanfaatkan fasum fasos”, pungkasnya. (*)