PADA sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi beberapa hari ini, amicus curiae atau dikenal juga dengan “sahabat pengadilan” sebagai buah pikir masyarakat terhadap mahkamah konstitusi, mendapat perhatian khusus dari masyarakat.
Mengapa tidak, amicus curiae dapat menjadi pertimbangan hakim MK dalam mengambil putusan terhadap perselisihan yang terjadi.
Amicus curiae mungkin sedikit asing bagi masyarakat, bahkan juga pada orang hukum sendiri. Isitilah itu mungkin hanya terdengar ketika sengketa pilpres terjadi di Mahkamah Konstitusi. Amicus-Curiae memang memiliki akar yang dalam di dalam sejarah hukum kita, dan banyak para ahli hukum yang percaya bahwa konsep ini berasal dari praktik hukum Romawi.
Konteks Romawi Kuno
Dalam konteks Romawi kuno, istilah ini digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memberikan pendapat atau nasihat kepada pengadilan dalam kasus yangnsedang dipermasalahkan. Meskipun tidak memiliki status sebagai pihak dalamnkasus tersebut, amicus curiae memiliki kepentingan atau pengetahuan khusus yang relevan dengan masalah hukum yang dibahas.
Praktik ini telah berkembang sejak masa Romawi dan terus berlanjut ke berbagai sistem hukum di seluruh dunia, termasuk dalam sistem hukum umum dan hukumnpidana.
Peran amicus curiae dalam proses hukum modern sering kali mencakup pemberian pandangan hukum, penjelasan, atau dukungan kepada pengadilan dalam kasus yang kompleks atau kontroversial.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli hukum tentang asal-usulnya yang tepat, penggunaan amicus curiae telah menjadi bagian penting dari proses hukum di banyak yurisdiksi, membantu pengadilan dalam memahami isu-isu hukum yang kompleks dan memastikan keputusan, informasi, dan pemahaman yang lebih baik tentang masalah yang sedang dibahas.
Perlu diingat bahwa meskipun amicus curiae tidak memiliki status sebagai pihak dalam kasus tersebut, kontribusi mereka sering kali sangat berharga dalam memperkaya pemahaman pengadilan tentang isu-isu yang kompleks atau kontroversial.
Oleh karena itu, penggunaan amicus curiae telah menjadi praktik yang.mapan dalam sistem hukum modern di berbagai negara.
Sistem Hukum Common Law dan Civil Law
Praktik amicus-curiae sendiri sangat banyak digunakan dalam Negara yang menganut sistem hukum common law, meskipun demikian, penggunaanya juga sudah lazim pada Negara dengan sistem hukum civil law seperti Indonesia.
Pemberlakuan amicus curiae sendiri di atur dalam Pasal 5 Ayat 1 undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, yang berbunyi bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum.dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hukum di Indonesia sendiri, amicus curiae mendapatkan perhatian yang begitu besar, hal itu terlihat dari banyaknya pengajuan amicus curiae oleh individu maupun kelompok terhadap sengketa hasil pilpres 2024, dan hal itu menunjukkan bahwa atensi masyarakat yang ikut memantau sidang PHPU Pilpres 2024 sangat tinggi.
MK telah menerima amicus curiae sebanyak 33 pengajuan terhadap PHPU Pilpres 2024 hingga kamis, 18 April 2024. Namun, MK juga membatasi pengajuan amicus curiae karena yang dibahas dalam sidang putusan PHPU Pilpres 2024 hanyalah amicus curicae yang diterima hingga pukul 16:00 WIB 16 April 2024.
Adanya penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power yang terjadi, dan sudah disuguhkan di hadapan hakim MK, semakin menguatkan bahwa Pilpres 2024 yang terjadi sudah jauh dari nilai-nilai demokratis.
Baca Juga: Prabowo-Gibran Unggul Telak Hasil Hitungan Enam Lembaga Survei
Penyalahgunaan kekuasaan itu dapat dilihat dari politisasi bantuan sosial yang ditujukan bukan hanya semata pada si penerima hak, tetapi lebih kepada kepentingan pasangan calon presiden tertentu.
Tidak hanya itu, adanya anggaran dari kementerian keuangan untuk bansos yang sangat besar dibanding anggaran bansos tahun sebelumnya, sangat jelas terjadinya abuse of power.
Masifnya penyalahgunaan kekuasaan bisa dilihat pada pembuktian dalam proses sidang dihadapan hakim MK (lihat sidang PHPU Pilpres 2024). Berangkat dari bukti persidangan di MK, sudah sepatutnya hakim mahkamah konstitusi menerima permohonan gugatan para pemohon dari pasangan calon presiden 01 maupun pasangan calon 02. Walaupun pada putusan hakim MK nantinya sangat potensial terjadinya dissenting opinion dari para hakim, hal itu tentunya harus berangkat dari proses persidangan yang jernih.
Kepedulian masyarakat kita terhadap demokrasi melalui amicus curiae tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata oleh hakim MK, sebagai pintu terakhir kepercayaan masyarakat Indonesia sebagai Negara hukum terhadap.penyalahgunaan kekuasaan, sikap-sikap negarawan dari hakim MK diuji demi menjaga nilai-nilai demokratis serta mempertegas lagi Negara hukum kita.
Sekiranya Hakim MK perlu melihat lebih jernih sengketa PHPU Pilpres 2024 dari berbagai sudut pandang, baik melalui pembuktian di persidangan, maupun amicus.curiae yang telah diajukan oleh individu dan kelompok kepada hakim Mmahkamah Konstitusi. Sikap kenegarawanan hakim MK menjadi hal penting untuk dilihat, sebab sikap kenegarawanan itulah yang akan menentukan apakah Indonesia masih negara demokratis atau lebih kearah otorianistik yang semakin menguat. (*)
Penulis Adalah Mahasiswa Hukum UIM
Baca Berita dan Artikel Lain di Google News