JAKARTA, NEWSURBAN.ID — Pulang dari Desa Sejoli, Kecamatan Moutong, Kabupatan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, seketika ramai berita seorang jenderal melepas jas dan nyemplung ke tambak udang.
Begitulah, ketika Letjen Pur DR HC Doni Monardo berhasrat. Saat ikut panen di tambak udang ia merasakan sensasi yang eksotik.
Ketika Doni dan para pekerja memegang jala lalu mengangkat pelan-pelan memutari tambak, udang-udang vaname melompat sigap. Saling silang, beterbangan. Sebagian besar tak bisa menembus jaring. Satu dua beruntung, lolos dari jala. Bagian wajah petambak yang apes, kadang-kadang ketabrak udang yang meloncat dengan ngawurnya. Oleh karenanya mereka yang ikut panen sebaiknya menggunakan kacamata.
Percayalah, yang menyenangkan bukan saja saat panen, tetapi juga aroma dollarnya. Sebelumnya, Doni baru saja menandai kerjasama antara Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat, organisasi yang dipimpinnya, dengan PT Parigi Aquakultura Prima (PAP) dalam mengembangkan budidaya tambak udang vaname di Sulawesi Tengah dan di sejumlah lokasi lain.
Makin mendalami seluk-beluk usaha udang vaname, makin yakin dia, bahwa dengan budidaya udang vaname, kita bisa mencetak kampung-kampung shrimp dollar di Tanah Air. Inilah salah satu jalan tol kesejahteraan yang konkret untuk rakyat.
Istilah petro dollar biasanya sebutan untuk negara yang banyak menerima devisa karena menjual minyak. Nah, shrimp dollar adalah istilah Doni Monardo untuk negara yang banyak menghasilkan devisa dari hasil udang.
Dengan ekosistem yang baik, pengelolaan manajemen air, water treatment serta IPAL yang baik pula, satu hektar bisa menghasilkan 45 – 65 ton. Beberapa panen terakhir bahkan menyentuh angka 73 ton. Sebuah capaian yang luar biasa, mengingat para petambak udang tradisional, hasil per hektare hanya di kisaran 20 ton.
Doni menghitung, 1 hektare menghasilkan rata-rata 60 ton udang, atau setara 60.000 kg. Harga udang, diandaikan Rp 100 rb per kg, artinya Rp 6 miliar. “Katakanlah dikurangi biaya produksi 50 persennya, maka bisa mendapatkan penghasilan tiga miliar per hektare. Kalau satu kampung bisa membuka lahan tambak udang vaname 100 hektare, maka sekali panen bisa mendapatkan tiga-ratus-miliar rupiah. Setahun panen tiga kali, maka hampir satu triliun per tahun. Bisa dipastikan, kampung-kampung di pesisir bisa menjadi kampung shrimp dollar,” ujar Doni.
Kabar tentang Doni Monardo melepas jas dan nyemplung berbasah basah di tambak udang membuat sejumlah kolega yang sudah lebih dulu terjun ke bisnis tambak udang, menghubunginya. Awalnya sempat tidak percaya, ada tambak udang yang satu hektare-nya bisa menghasilkan rata-rata 60 ton, bahkan bisa lebih.
Doni menyikapi respons teman-temannya sebagai sebuah jalan berkolaborasi. Doni ingin agar success story PT PAP pun bisa ditularkan ke petambak udang lain di seluruh Indonesia.
Karena itu pula, Doni langsung meminta Egy Massadiah, pengurus Bidang Komunikasi (Bidkom) PP PPAD mengatur zoom meeting. Pesertanya, dari PPAD, PT PAP dan para pengusaha udang.
Beberapa pengurus PT PAP lainnya seperti Steve Suprapto, Bara Mustika, Saenphon Chandaeng, ikut bergabung. Hadir juga Hendrikus, pengusaha tambak udang di Bengkulu, serta Sukardi Soegiarto, petambak udang di Lampung.
Rapat virtual sore hari itu, Minggu (15/5/2022) lebih kepada brainstorming. Semacam penjajagan kemungkinan kerjasama. Tukar pengalaman kisah gagal, kenapa gagal, bagaimana sukses di bisnis tambak udang. Pengalaman gagal menjadi pelajaran, lalu bahu membahu mencari tau faktor menuju kesuksesan tambak itu.
Water Management
Rudi Wibowo menjelaskan, PT PAP berdiri tahun 2018 dengan membuka tambak udang di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Total lahan 20 hektare dan setiap tahun atau bahkan ada yang tujuh bulan, dilakukan perluasan (double size). Rencananya, khusus di Parigi, akan dikembangkan hingga 250 hektar.
“Yang perlu saya sampaikan adalah bagaimana kami bertumbuh. Secara umum, polanya hampir sama dengan kebanyakan tambak udang yang lain di Indonesia. Jika ada yang beda, adalah pada proses water management. Sebelum masuk tambak air laut diproses terlebih dahulu. Begitu pula ketika harus dibuang, maka tidak begitu saja dibuang ke laut, melainkan melalui IPAL,” katanya.
Pihaknya menyebutkan, sudah panen 10 siklus dengan hasil antara 45 – 65 ton per hektare. Panen terakhir, bahkan menyentuh angka 70 ton lebih. “Relatif stabil. Itu karena kami melakukan monitoring pada setiap tahap. Setiap ada kendala langsung dilakukan adjustment. Kami ingin segera bisa mengoperasikan 600 sampai 1.000 hektare tambak udang di sejumlah lokasi,” kata Rudi.
Di antara udang windu, udang putih, dan udang vaname, PT PAP hanya bermain di single species yaitu udang vaname. Selain harganya bagus, varietas vaname relatif tangguh. “Kami juga bekerjasama dengan sejumlah mentor, antara lain pak Bambang Widagdo dari IPB. Reputasinya di bidang perudangan sudah diakui dunia,” tambahnya.
Adapun kerjasama dengan PPAD, Rudi menyediakan 10 hektare per lokasi yang diperuntukkan bagi para petambak yang berasal dari PPAD.
“Kata kunci usaha tambak udang adalah SDM yang disiplin. Dengan para purnawirawan, saya merasa soal disiplin bukan lagi masalah. Bisa saya katakan, 70 persen sukses tambak udang adalah faktor disiplin. Apa yang tertulis dalam SOP ya itu yang harus dijalankan secara letterlijk, dan para prajurit sudah terbiasa melakukan sesuatu secara presisi,” tambah Rudi.
Lima Point
Doni mencatat lima hal penting, yang bisa dijadikan prinsip/cara bisnis budidaya udang vaname.
Pertama, lingkungan alam yang ekosistemnya terjaga. Tidak ada industri yang mengeluarkan limbah, tidak ada polusi yang dihasilkan dari perkampungan atau dari masyarakat yang dapat mencemari laut, sehingga tidak ada bakteri ecolli, bakteri sanmonella di dalam tambak udang. Itu karena masyarakat menjaga lingkungannya dengan sangat baik.
Kedua, teknologi. Penguasaan teknologi budidaya. “Pak Rudi dan tim telah membangun tata kelola di bidang instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Ini ternyata sangat penting jika kita ingin hasil produksi tambak kita meningkat,” tambahnya.
Ketiga, SDM (Sumber Daya Manusia). SDM PT PAP ia lihat disiplin, tabah, dan sabar. Sebab, yang diurus juga makhluk hidup, sehingga dibutuhkan kesabaran dan disiplin. “Mohon pak Rudi ini semua dibuatkan SOP, sehingga nanti para purnawirawan yang akan begabung, memiliki konsep yang sama di seluruh Indonesia. Jadi yang bagus bukan hanya di sini. Saya harap, SDM yang berasal dari purnawirawan TNI bisa menjadi lokomotif penggerak bagi daerah-daerah lin dalam memberi teladan budidaya udang vaname,” papar Kepala BNPB 2019 – 2021 itu.
Keempat, sumber keuangan. Finansial. Sebaik apa pun program budidaya udang vaname, tanpa dukungan finansial, tentu akan sulit diwujudkan. “Saya berterima kasih kepada lembaga perbankan yang telah membantu pendanaan budidaya udang vaname. Sebelum diputuskan mendanai program budidaya ini, tentu sudah melalui kajian feasibility. Dan kami optimis, usaha ini akan berkembang baik,” ujar Doni,
Kelima, kerjasama dengan masyarakat, utamanya dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama di wilayah yang akan jadi kawasan tambak. Itu penting sekali.
“Menurut saya, agak aneh, tambak udang yang begitu luas nggak ada satpamnya. Kenapa? Itu karena kerjasama dengan masyarakat telah terjalin dengan sangat baik,” tegas Danjen Kopassus 2014 – 2015 itu. Doni menambahkan, bahwa kesuksesan bisnis disebuah tempat sangat tergantung dengan pelibatan masyarakat. Pentingnya comunity develepment.
Seperti Doni kemukakan di atas, dari 100 hektare tambak udang, berpotensi menghasilkan Rp 1 triliun per tahun. Bisa dipastikan, perekonomian masyarakat akan bergerak dan bertumbuh. Banyak orang pergi umrah. Banyak orang beli sepeda motor atau mobil. Banyak yang belanja kebutuhan sekunder.
“Jadi muncul kelakar, bila perlu kita saja yang buka dealer motor dan mobil, buka minimarket, dan buka jasa perjalanan haji dan umrah. Jadi uangnya balik lagi,” kata Doni sambil tertawa.
Adapun CSR perusahaan tambak udang ke depan, adalah bagaimana memperluas pasar, baik domestic maupun eksport. Harus dikampanyekan, bahwa protein hewan tidak saja dari daging kambing atau sapi, tapi bisa didapat juga dari udang. “Keberhasilan sektor ini dengan sendirinya akan menarik minat jasa perbankan untuk mengucurkan kredit, sebab prospeknya memang sangat bagus,” tandas Doni.
Bantuan Manajemen
Petambak udang yang memiliki lahan di Bengkulu, Hendrikus terkesan dengan PT PAP. Ia sendiri mengakui belum berhasil. Mengawali bisnis tambak udang tahun 2015. Semua fasilitas dinilainya sudah OK. Di atas lahan 65 hektare telah dibangun infrastruktur yang memadai. Dari lahan seluas itu, 30 hektare di antaranya dibagi menjadi 80 kolam tambak udang vaname.
Tempat bagus, air bagus, tandon bagus, full karpet, listrik 4 megawatt plus cadangan genset. Bahkan dilengkapi laboratorium, naik turun barang menggunakan forklift. Tapi toh hasilnya hanya di kisaran 18 ton per hektare. Sangat jauh jika dibandingkan hasil PT PAP.
“Saya kira ada miss management. Nah kebetulan saya berteman dengan pak Doni. Dan beliau akhir-akhir ini sering bicara tentang udang, jadi saya minta saran beliau,” katanya.
“Lokasi kami hanya 20 km atau 30 menit dari Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu,” kata Hendrikus, antusias.
Pokok Keinginan
Kabid Ekonomi, PP PPAD, Mayjen TNI Wiyarto menangkap adanya gayung yang bersambut. Sebelum ke hari H pertemuan, para pihak, diminta menyiapkan pokok-pokok keinginan, sehingga saat bertemu bisa lebih cepat ke proses kesepakatan.
Di akhir rapat virtual, Doni Monardo kembali mengingatkan tentang tagline “Lima Point menciptakan kampung-kampung shrimp dollar”. Atau mau pakai istilah “kampung petro-dollar, silakan saja. Maknanya bukan penghasil minyak tapi ‘petro-dollar’ dalam konteks ‘kampung yang makmur dan rakyatnya sejahterah’,” kata Doni Monardo.
(Catatan Roso Daras dan Egy)