Respons Penerapan UU HKPD, Bupati Gowa: Pelaksanaan Aturan Sesuai Kondisi Daerah

GOWA, NEWSURBAN.ID — Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan memberikan respons pada kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Penerapan UU HKPD ini, harus melihat karakteristik daerah.

Menurutnya, UU HKPD yang saat ini sementara disusun peraturan pemerintah (PP) nya harusnya melihat perspektif pemerintah daerah yang berbeda-beda di setiap wilayah. Sehingga pemerintah pusat sebaiknya tidak melihat kondisi pemerintah daerah yang ada di Pulau Jawa, sebab beberapa pemerintah daerah lainnya akan kesulitan jika menerapkan aturan tersebut.

“Beberapa kebijakan yang akan diterapkan dalam aturan ini akan sulit untuk dilaksanakan di daerah seperti terkait batasan belanja pegawai dan belanja mandatory,” katanya saat menghadiri Sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) di Ruang Rapat Pimpinan Kantor Gubernur Sulsel, Selasa (28/6).

Baca Juga: Abdul Hayat Harap UU HKPD Dapat Tingkatkan Perekonomian Daerah

Lanjut Adnan, misalnya pada belanja pegawai yang-ditetapkan tidak boleh lebih dari 30 persen. Aturan ini tentunya sangat berat untuk daerah ikuti, apalagi Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) masuk dalam komponen belanja pegawai.

“APBD daerah yang besar hingga 40 miliar mungkin tidak masalah dengan 30 persen. Namun bagaimana dengan daerah yang mengharap dari Tranfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD),” terang Adnan soal rencana penerapan UU HKPD.

Kondisi ini, juga-ditambah dengan beban P3K yang oleh kebijakan pusat penggangarannya di serahkan ke pemerintah daerah. Belum lagi dengan rencana penghapusan honorer menjadi P3K atau outsourching, kondisi ini akan menambah anggaran belanja pegawai.

Baca Juga: Apkasi Menyoroti Belanja Pemda Berpotensi Melebihi APBD 115 Persen

“Kami memberikan saran agar dalam PP tersebut perlu-dibuatkan klasifikasi daerah terkait belanja pegawai ini. Daerah yang APBD dan PAD kuat boleh di angka 30 persen. Namun untuk daerah yang masih mengandalkan TKDD ini perlu di buatkan aturan main khusus,” harap Sekjen APKASI ini.

Terkait belanja mandatory yang menstandarkan biaya infrastruktur sebesar 40 persen juga menjadi kendala di pemerintah daerah.

“Belanja infrastruktur dari 20 persen menjadi 40 persen kendala bagi pemda. Jika belanja pegawai 30 persen, di tambah lagi kewajiban mengalokasikan pendidikan 20 persen; kesehatan 10 persen dana desa; 10 persen dana kelurahan 5 persen; dan BPJS maka alokasi dana saja sudah lebih dari 100 persen. Sedangkan kami di daerah masih memiliki 27 SKPD yang membutuhkan anggaran,” jelas Adnan secara terperinci.

Baca Juga: Bupati Adnan Terima Bantuan Keuangan Pemprov Sulsel Sebesar Rp 12,4 Miliar

Karena itu, sangat-diharapkan pemerintah pusat melalui Kementrian Keuangan juga bisa berkordinasi dengan Kementrian Dalam Negeri. Agar pedoman penyusunan anggaran di samakan dengan aturan di Kemendagri.

Apalagi mulai 2023 beberapa daerah sudah mulai melaksanakan Pilkades serentak dan 2024 sudah memasuki tahun Pilkada. Yang semua pembiayaannya menjadi beban anggaran daerah. Sehingga perlu di pertimbangkan untuk menyesuaikan dengan mandatory. (ar/*)

Exit mobile version