WASHINGTON D.C.,NEWSURBAN.ID – Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial yang mengguncang stabilitas kawasan Timur Tengah dan mengundang perhatian dunia internasional. Dalam pidato politiknya di Texas akhir pekan lalu, Trump menegaskan bahwa dirinya siap perang untuk mengambil tindakan militer terhadap Iran apabila ia kembali menjabat sebagai Presiden AS.
“Tidak ada lagi negosiasi. Saat saya kembali, Iran akan tahu bahwa kita tidak main-main. Jika mereka mengancam kepentingan kita atau sekutu kita, maka kita akan balas dengan kekuatan penuh,” tegas Trump dalam orasinya yang disambut dengan gemuruh pendukung.
Pernyataan ini memicu gelombang reaksi dari berbagai negara, termasuk Iran sendiri, yang menilai ancaman tersebut sebagai bentuk deklarasi perang terselubung. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, menyebut Trump sebagai “pengacau global” dan memperingatkan bahwa Teheran siap merespons setiap bentuk agresi dengan kekuatan militer yang setimpal.
KONFLIK PANJANG YANG BELUM USAI
Ketegangan antara AS dan Iran telah berlangsung selama lebih dari empat dekade, sejak Revolusi Islam 1979 yang menggulingkan Shah Iran—sekutu utama Amerika Serikat di kawasan. Sejak saat itu, hubungan kedua negara terus diwarnai permusuhan, termasuk pembekuan aset, sanksi ekonomi, dan konfrontasi militer tidak langsung melalui proksi di Irak, Suriah, dan Yaman.
Puncak eskalasi terbaru terjadi pada awal 2020 saat Presiden Trump memerintahkan pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani—pemimpin Pasukan Quds, sayap elit Garda Revolusi Iran—dalam sebuah serangan udara di Baghdad. Iran membalas dengan menghujani pangkalan militer AS di Irak menggunakan rudal balistik, menciptakan krisis internasional yang nyaris memicu perang terbuka.
Meski Biden mencoba kembali ke jalur diplomasi melalui upaya pemulihan kesepakatan nuklir JCPOA, negosiasi itu runtuh karena ketegangan domestik di Iran dan tekanan politik internal di AS.
PERGERAKAN MILITER TERBARU
Dalam beberapa minggu terakhir, laporan dari Pentagon menunjukkan peningkatan aktivitas militer AS di Teluk Persia. Armada Kapal Induk USS Dwight D. Eisenhower yang sempat berada di Laut Merah kini kembali dikerahkan ke kawasan Teluk, didampingi kapal perusak dan kapal logistik. Jet-jet tempur F-35 dan F/A-18 juga dikabarkan telah mendarat di pangkalan militer AS di Qatar dan Bahrain.
Sementara itu, Iran juga tak tinggal diam. Satelit mata-mata AS mengamati peningkatan signifikan dalam latihan militer Garda Revolusi Iran (IRGC) di sepanjang Selat Hormuz. Iran juga memobilisasi rudal-rudal balistik jarak menengah dan memperkuat sistem pertahanan udara di kawasan strategis, termasuk pangkalan udara Bandar Abbas dan wilayah Khuzestan.
Kelompok-kelompok pro-Iran di Irak dan Suriah seperti Kata’ib Hezbollah dilaporkan telah meningkatkan kesiagaan, yang bisa berarti potensi pembalasan jika konflik meletus secara langsung.
REAKSI GLOBAL DAN ANALISIS STRATEGIS
Reaksi dunia internasional tidak kalah cepat. Uni Eropa, Rusia, dan Tiongkok mengeluarkan pernyataan bersama mendesak kedua belah pihak untuk menahan diri. Sekjen PBB António Guterres menyampaikan kekhawatiran bahwa eskalasi ini berpotensi menjadi “konflik berskala regional yang dapat menimbulkan dampak ekonomi global, termasuk pada harga minyak dan stabilitas perdagangan dunia.”
Analis geopolitik dari Council on Foreign Relations, Michael Singh, menyatakan bahwa retorika Trump ini bukan hanya strategi politik, tetapi juga pesan kepada lawan-lawannya bahwa dirinya tetap berpegang pada prinsip “kekuatan sebagai diplomasi.”
“Jika terjadi salah perhitungan, bukan tidak mungkin perang regional akan pecah. Dan mengingat situasi Timur Tengah yang penuh bara, satu percikan kecil bisa menyulut api besar,” ujarnya.
DAMPAK POTENSIAL JIKA KONFLIK TERJADI
Jika perang antara AS dan Iran benar-benar pecah, dampaknya diprediksi akan sangat luas. Jalur minyak utama dunia, Selat Hormuz, kemungkinan besar akan terganggu. Sekitar 20% pasokan minyak global melewati selat ini setiap hari. Gangguan ini dapat mendorong harga minyak dunia ke atas $150 per barel, memicu inflasi global, dan memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Selain itu, sekutu AS di kawasan seperti Israel, Arab Saudi, dan UEA kemungkinan akan terlibat dalam konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Serangan rudal ke wilayah-wilayah ini akan membangkitkan respons pertahanan kolektif, yang berpotensi memperluas skala perang.