JAKARTA, NEWSURBAN.ID — Kasus tindakan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Kota Makassar paling tertingi sepanjang tahun 2021. Hal itu berdasarkan laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Anggota YLBHI Zaenal lansir melalui saluran channel youtube Yayasan LBH Indonesia, Jumat (31/12), mengaku kasus keseluruhan di beberapa daerah sebanyak 189 kasus.
“Laporan kekerasan seksual dan KDRT tertinggi terjadi di Makassar dengan 90 kasus. Kemudian LBH Jakarta mendapat laporan 57 kasus kekerasan seksual dan KDRT. Sementara LBH Surabaya mencatat terjadi 15 kasus kekerasan seksual dan KDRT sepanjang 2021. Angka tersebut masih memungkinkan terus bertambah mengingat pembaruan data yang terus berjalan,” ungkapnya.
Zainal mengatakan dari data itu LBH membedakan menjadi dua jenis laporan. Pertama yaitu perasaan seksual dan yang kedua adalah kekerasan dalam rumah tangga.
Selama tahun 2021, beragam kasus kekerasan seksual telah ditangani seperti kasus percobaan atau upaya pemerkosaan, kekerasan berbasis gender online dan pelecehan eksploitasi seksual. Kemudian pemaksaan aborsi, pembuatan video, kekerasan fisik dan psikis hingga tindakan asusila ‘gang rape’.
Sementara, pada kasus kekerasan dalam rumah tangga, bentuk kekerasan yang terjadi adalah pelantaran rumah tangga. Kemudian kekerasan fisik, menikah tanpa izin istri, kekerasan psikis eksploitasi anak, hingga kekerasan fisik terhadap anak.
Baca juga: Lapor Polisi Anaknya Dicabuli, Malah Dapat Omelan Hingga Disuruh Tangkap Sendiri Pelaku
Kemudian dari berbagai tindakan kekerasan seksual dan KDRT, YLBHI membedakan hubungan pelaku dan korban yang didominasi atas dasar relasi pacaran, disusul relasi keluarga.
“Di mana para pelaku didominasi terjadi karena relasi dalam pacaran. Angka kasus itu menjadi yang tertinggi ditangani,” katanya.
Kemudian pelaku dalam relasi keluarga, pekerjaan, pertemanan di sosial media, pinjaman online, sampai orang tidak di kenal.
“Di keluarga ini juga cukup tinggi termasuk kaitanya dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di kekerasan dalam rumah tangga,” ucap Zainal.
Masalah Aparat Penegak Hukum di Lapangan
Sekian banyak laporan kasus kekerasan seksual dan KDRT yang ditangani LBH, masih ditemukan adanya masalah penanganan hukum di lapangan oleh aparat penegak hukum.
“Pertama adalah proses hukum tidak berpihak pada korban dan yang kedua adalah minimnya akses rumah aman dan korban tidak berani untuk speak up,” kata dia.
Meskipun, lanjut Zainal, adanya peningkatan kasus karena korban sudah banyak yang berani melapor atau speak up ke publik. Namun dia menduga angka itu masih timpang, dengan korban yang masih bungkam.
“Harus kita akui hari ini masih banyak perempuan korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga yang tidak berani untuk speak up. Nah dari proses hukum yang tidak berpihak pada korban bisa kita lihat dari beberapa cuplikan kasus yang tangani oleh LBH,” kata dia.
Baca juga:Â Delapan Bulan Baru Terungkap! Polisi Tangkap Pelaku Pembunuhan Sadis di Ampana Sulteng
Seperti halnya kasus pelecehan seksual di Luwu Timur terkait kasus dugaan pemerkosaan kepada tiga anak kandung oleh ayahnya, penyidikan sempat menghentikan kasusnya pada 2019. Hingga menjadi sorotan publik berujung viralnya #PercumaLaporPolisi.
“Nah ini kemudian berhasil dan mendorong dengan berbagai upaya yang akhirnya muncul secara serentak dan secara Ini di publik gerakan #percumalaporpolisi yang kemudian menjadi gerakan bersama,” sebutnya.
Lalu kasus lainnya, kata Zainal, yang terjadi di Polrestabes Makassar. Di mana polisi memfasilitasi untuk melakukan cabut laporan terhadap kasus pelecehan seksual yang di alami anak dan disabilitas. Dengan dalih sebagai penerapan restorative justice.
“Padahal kalau kita mengacu KUHP bahwa restorative justice ada prasyarat tertentu. Di mana kemudian pelaku itu tidak menimbulkan namanya kekerasan di masyarakat,” tuturnya.
Zainal juga menyoroti adanya penanganan kasus yang berlarut-larut, seperti Kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang advokasi LBH Semarang. Di mana kasus telah melaporkan sejak Juli 2020 di Polda Jawa Tengah, tak kunjung mengalami kemajuan.
“Sejak bulan Oktober di 2021 proses hukumnya tidak mengalami ini proses yang signifikan kemajuannya,” ujar dia..
Hingga kini, Zainal mengatakan masalah hukum juga terjadi pada tahap pengadilan. Di mana terdapat sejumlah kasus, pelaku hanya di hukum rendah dan tidak setimpal dengan rasa keadilan untuk korban.
“Kita bisa melihat kasus pelaku KDRT pejabat KPID Jawa tengah yang dapat vonis sangat rendah hanya 4 tahun penjara,” tandasnya. (*)