JAKARTA, NEWSURBAN.ID – Public Policy Network atau Polinet serahka policy brief bahaya Depo Pertamina Makassar ke beberapa pihak. Dokumen Policy Brief merupakan hasil riset tentang potensi ancaman dan bahaya Depo Pertamina Makassar terhadap masyarakat sekitar.
Sebelumnya, Polinet gencar menyoroti keberadaan Depo milik Pertamina itu karena letaknya sangat dekat dengan permukiman warga. Polinet dalam ekspose hasil riset menganggap keberadaan Depo itu dapat sewaktu-waktu mengancam keselamatan masyarakat.
Direktur Polinet, Rizal Fauzi mengatakan jika lembaganya tersebut telah menyerahkan laporan hasil riset dalam bentuk policy brief ke beberapa pihak atau stakeholder terkait dengan PT Pertamina (Persero) pada Selasa, 18 Juli 2023 kemarin.
“Jadi, kemarin rekan-rekan di Jakarta sudahmenyerahkan surat dan policy brief dari kami kepada pihak-pihak terkait” ucap Rizal dalam keteranganya, Rabu (19/7/2023).
Baca Juga: Demo Blokade Jalan, IMM Kota Makassar: Depo Pertamina Ancam Keselamatan Warga
Beberapa instansi yang-dimaksud adalah Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM), Direktorat Jenderal (Ditjend) Minyak dan Gas (Migas) ESDM, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Ombudsman RI, Direktur Utama PT. Pertamina Persero dan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga.
Selanjutnya, policy brief juga akan-diserahkan kepada Komisi VII DPR RI, Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Provinsi Sulsel dan DPRD Kota Makassar serta DPRD Sulsel sebagai bahan bagi pihak-pihak terkait.
Rizal mengungkapkan, jika policy brief yang berdasarkan riset yang-dilakukan oleh Polinet tersebut berisikan analisis keberadaan Depo Pertamina menggunakan pendekatan Environmental, Social and Governance (ESG).
Dalam risetnya itu, Direktur Polinet Rizal Fauzi mengatakan, Depo Pertamina atau Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Makassar itu-dianggap tidak memenuhi standar keselamatan umum serta berisiko dapat mengorbankan warga sekitar.
Kondisi ini tidak sesuai dengan standar acuan Pertamina yang merujuk pada American Petroleum Institute (API) dengan jarak minimum 60 meter dan National Fire Protection Association (NFPA) yang menetapkan jarak minimum 122 meter.
Jarak ini juga tidak sesuai dengan ketentuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Keputusan Direktur Jenderal ESDM No 309.K/30/DJB/2018 yang mengatur depo Pertamina yang masuk dalam kelas I-II B, jarak minimum +50 meter.
“Syarat minimum jarak tersebut,ditentukan dengan memperhatikan potensi risiko akibat aktivitas Depo Pertamina yang berpotensi membahayakan lingkungan sekitar,” tutur Rizal.
Baca Juga: Soroti Depo Pertamina Makassar, Polinet: Langgar Standar Operasional dan Ancam Keselamatan Warga
Dia mengatakan, jarak minimum yang tidak sesuai standar berisiko menimbulkan gangguan kesehatan. Seperti gangguan pernafasan, pusing, dan hilang kesadaran yang merupakan dampak dari paparan uap yang mengandung senyawa kimia berbahaya bagi tubuh.
Selain itu, ketidaksesuaian jarak minimum menunjukkan ketidakmampuan Pertamina dalam memenuhi studi kelayakan lingkungan. Emisi yang-dihasilkan dari aktivitas Depo mengganggu kualitas udara di lingkungan sekitar.
Berdasarkan survei Polinet di Kecamatan Ujung Tanah,ditemukan adanya pencemaran udara di sekitar depo Pertamina.
Hal ini-ditandai dengan adanya bau gas dengan kombinasi cuaca panas. Mengakibatkan masyarakat banyak masyarakat yang mengalami flu, pusing dan bahkan sesak napas.
Selain itu menandakan bahwa adanya pengelolaan limbah yang kurang baik pada Depo Pertamina.
Berdasarkan hasil analisis perspektif publik terkait dampak lingkungan Depo Pertamina Makassar, menunjukkan 69,23%. Menyatakan bahwa keberadaan depo Pertamina mencemari udara. Sementara hanya 30,77% yang menganggap tidak mencemari udara.
“Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas stakeholder menggap adanya pencemaran udara. Belum lagi jika di tinjau dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM),” ujar Rizal.
Dia tegaskan, pemenuhan HAM yang-dilakukan Pertamina, harus menjamin pemenuhan hak-hak mendasar. Dan tidak mengganggu hak-hak warga negara.
Oleh karena itu, terdapat 2 opsi alternatif kebijakan yang dapat-dilakukan oleh Pertamina dan Kementerian BUMN.
Pertama, pemindahan depo Pertamina Makassar penting dengan memilih tempat yang aman terhadap warga. Dan menggunakan teknologi baru yang menjamin pengelolaannya berkualitas. Serta memenuhi standar risiko perusahaan internasional.
Pemindahan ini dapat menggunakan dua opsi, yakni pembangunan sepenuhnya oleh pihak pertamina. Dapat pula menggunakan model kerjasama dengan pihak swasta dengan model public private partnership.
Kedua relokasi masyarakat sekitar depo Pertamina khususnya yang berjarak di bawah standar minimum. Yakni 60 meter sesuai standar API dan maksimum 122 meter sesuai standar NFPA.
“Namun, direkomendasikan untuk menggunakan standar maksimum agar menghindari risiko besar bagi masyarakat,” tandasnya. (*)