Luka yang Tak Terlihat: Vivi dan Warisan yang Tak Pernah Diakui

MAKASSAR, MEWSURBAN.ID – Di sebuah rumah makan di sudut Kota Makassar, suara seorang perempuan terdengar tenang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan luka lama yang akhirnya tumpah hari itu. Namanya Vivi Anna Maria. Seorang perempuan tangguh, pemilik Hermin Salon yang telah berdiri puluhan tahun, dan juga seorang psikolog klinis.
Namun hari itu, ia bukan bicara sebagai pemilik usaha atau profesional. Ia hadir sebagai anak perempuan yang merasa tak pernah benar-benar diakui dalam keluarganya sendiri.
“Sebagai anak sulung, saya pikir saya punya hak yang sama. Tapi ternyata, saya hanya dianggap perempuan, tidak lebih,” kata Vivi lirih.
Ia adalah anak pertama dari dua bersaudara dalam keluarga Tionghoa yang masih memegang kuat sistem kekerabatan patriarki. Sang adik laki-laki, JH, kini dikenal sebagai pemilik enam pabrik air mineral di Makassar. Sementara Vivi tetap setia mengurus usaha salon warisan mendiang ibunya, Hermin.
Setelah ibunya wafat, Vivi merasa pelan-pelan dirinya disingkirkan. Rumah, ruko, tabungan usaha semua yang pernah ia bangun bersama sang ibu berada dalam kuasa adiknya. Saat ia hendak menjual sebidang tanah warisan untuk membiayai operasi katarak karena penglihatannya yang nyaris hilang, permintaan itu ditolak, kecuali jika ia bersedia menandatangani pernyataan untuk tidak lagi menghubungi adiknya seumur hidup.
“Waktu itu penglihatan saya tinggal 30 persen. Saya tidak minta banyak, hanya butuh biaya operasi. Itu juga tidak minta uangnya , hanya tanda tangan transaksi penjualan tanah warisan. Tapi jawabannya justru syarat yang menyayat hati,” kenang Vivi.
Namun luka Vivi tak hanya soal harta. Hubungannya dengan istri adiknya, ST, juga dipenuhi konflik. Vivi menyebut ST sering berbicara kasar ke Vivi melalui WA staf Vivi bahkan pernah mencoba memukulnya 3 Kali di depan saksi. Ia juga mengaku mendapat fitnah yang disebarkan lewat pesan WhatsApp kepada para staf di salonnya.
Merasa tak punya jalan lain, Vivi melaporkan kejadian itu ke Krimsus Polda Sulsel pada awal 2024. Tapi harapannya untuk mendapat perlindungan hukum sirna. Laporan itu tak pernah ditindaklanjuti.
“Awalnya dijanjikan mediasi. Tapi setelah ST diwawancara, semuanya mendadak diam. Saya pernah dengar langsung ucapan bahwa mereka siap dana untuk atur segalanya,” ujar Vivi, kecewa.
Vivi tak bicara hanya soal kehilangan hak waris. Ia mengangkat persoalan yang lebih dalam tentang budaya yang meminggirkan perempuan, bahkan di dalam keluarga sendiri.
“Anak perempuan itu yang lebih banyak jaga orang tua. Tapi saat warisan dibagi, kami seolah tak punya hak. Padahal semua aset ini lahir dari kerja saya dan mami,” katanya, menyebut beberapa properti seperti rumah di Jalan Macan, puri mutiara. The mutiara, citraland, apartemen di Pasar Baru, hingga tanah di Takalar yang semua, menurutnya, berasal dari hasil kerja keras Hermin Salon.
Selama bertahun-tahun, Vivi memilih diam. Ia bahkan pernah menghibahkan satu ruko untuk sang adik demi menjaga hubungan keluarga. Tapi hari ini, ia memutuskan bicara.
“Coba dihitung. Ruko itu sewanya seratus juta setahun. Lima belas tahun sudah 1,5 miliar. Sekarang ruko yang punya Hermin salon itu nilainya empat miliar. Mana kembaliannya?” ucapnya pelan tapi tegas.
Dalam hatinya, Vivi tak hanya menuntut harta. Ia menuntut pengakuan. Tentang keberadaan hasil keringatnya. Tentang hak milik sesungguhnya. Tentang cinta keluarga yang seharusnya adil, bukan berdasarkan jenis kelamin.
“Budaya ini menyakiti perempuan. Ini bukan hanya soal hukum, tapi tentang keadilan dan kemanusiaan,” tuturnya.
Vivi kini bukan hanya berdiri sebagai pengusaha atau psikolog. Ia adalah suara dari banyak perempuan yang selama ini memilih diam. Kini ia bicara, bukan untuk melawan, tapi untuk menyembuhkan.