
JAWA BARAT, NEWSURBAN.ID — Seorang remaja viral setelah mengkritik Dedi Mulyadi, tokoh politik asal Jawa Barat, terkait larangan acara wisuda tingkat TK hingga SMA dan kebijakan penggusuran yang dilakukan di wilayahnya.
Dedi Mulyadi mengundang warga terdampak, termasuk sang remaja, untuk hadir dalam pertemuan yang terekam dalam video di kanal YouTube ‘Kang Dedi Mulyadi Channel’ pada Sabtu , 26 April 2025.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, remaja tersebut dengan lantang menyuarakan kekecewaannya terhadap kebijakan larangan wisuda yang dinilai menghilangkan momen penting bagi anak-anak dan orang tua. Menurutnya, wisuda bukan hanya sekadar acara seremonial, melainkan momen kebanggaan dan motivasi untuk melanjutkan pendidikan.
“Acara wisuda itu bentuk apresiasi terhadap usaha belajar anak-anak. Kenapa harus dilarang? Bukankah seharusnya pendidikan itu dirayakan?” ujar remaja tersebut dalam rekamannya.
Selain soal wisuda, remaja itu juga menyinggung soal penggusuran yang dilakukan di beberapa wilayah. Ia mempertanyakan kebijakan penggusuran yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat kecil. “Penggusuran itu membuat rakyat kecil kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Pemimpin seharusnya hadir untuk melindungi, bukan malah menambah beban hidup mereka,” tambahnya.
Dedi menyatakan keheranannya karena, di tengah banyaknya keluhan orang tua soal mahalnya biaya study tour, masih ada siswa yang menolak larangan tersebut.
“Banyak rakyat miskin, nggak punya rumah lagi, rumahnya di bantaran kali, tapi sekolahnya gaya-gayaan ada wisuda,” sindir Dedi.
Ia mempertanyakan anggapan bahwa kenangan sekolah hanya dapat dibangun melalui acara perpisahan.
“Kalau tanpa perpisahan, apa akan kehilangan kenangan? Kenangan itu bukan pada saat perpisahan, kenangan itu tercipta selama proses belajar selama tiga tahun,” tegasnya.
Namun, remaja tersebut tetap bertahan pada pendapatnya. Dalam video berdurasi 33 menit, ia menyatakan bahwa acara perpisahan penting untuk mempererat hubungan antar teman.
View this post on Instagram
“Enggak juga sih, Pak. Saya ngerasa kalau sudah lulus, tanpa ada perpisahan, kita enggak bisa kumpul bareng atau ngerasain interaksi sama teman-teman,” ujarnya.
Dedi lalu menyoroti cara remaja itu dalam menyampaikan kritik. Menurutnya, kritik seharusnya diarahkan pada hal-hal yang benar-benar memberatkan rakyat secara ekonomi.
“Harusnya speak up-nya begini, kritik gubernur karena gubernur membebani rakyat, sekolah harus bayar iuran, kritik gubernur karena membiarkan orang tua dibebani untuk pembayaran sekolah, kritik gubernur karena membiarkan banjir, saya senang. Ini kritik gubernur karena gubernurnya melarang perpisahan,” kata Dedi.
Ia juga menambahkan bahwa banyak orang tua bahkan harus berutang demi membiayai acara study tour anak-anak mereka, yang justru memperparah beban ekonomi keluarga.
Respon netizen pun membanjiri kolom komentar di kanal YouTube Dedi. Banyak yang menyayangkan sikap remaja tersebut.
“Maluuu lihat murid dan orang tua kaya gini,” tulis seorang netizen.
“SIAPA YANG GEMESSSSSSS,” timpal yang lain.
Di tengah perdebatan, beberapa netizen juga membagikan pengalaman pribadi mereka tentang penggusuran saat Dedi menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Seorang netizen menulis pengalamannya saat keluarganya harus meninggalkan tanah negara di Cilodong tanpa izin.
“Saya dan keluarga — ayah, ibu, serta adik-adik — pernah tinggal di sebuah tanah negara di daerah Cilodong. Waktu itu setelah KDM menjabat sebagai bupati, keluar aturan bahwa semua bangunan di atas tanah negara harus dibongkar. Kami menerima keputusan itu dengan lapang dada, karena sadar tanah tersebut bukan milik kami,” tulis netizen tersebut.
Menutup diskusi, Dedi menegaskan bahwa kegiatan perpisahan tetap bisa dilaksanakan secara kreatif tanpa membebani keuangan orang tua. Ia mendorong agar kegiatan tersebut dikelola oleh OSIS atau organisasi siswa dengan konsep sederhana dan mandiri, misalnya mengadakan pertunjukan musik, tari, atau karya sastra di lingkungan sekolah.