
MAKASSAR, NEWSURBAN.ID — Sengketa kepemilikan lahan seluas 16 hektare di kawasan strategis Metro Tanjung Bunga, Makassar, kembali memanas. PT Hadji Kalla resmi menyatakan perlawanan atas gugatan yang diajukan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), menegaskan kesiapan penuh menghadapi proses hukum dengan membawa bukti historis, legal, serta penguasaan fisik lahan sejak 1996.
Gugatan yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada 26 November 2025 itu teregister dengan nomor perkara 560/Pdt.G/2025/PN.Mks dan menjadi salah satu sengketa pertanahan terbesar yang menyita perhatian publik.
Sidang perdana dijadwalkan berlangsung pada 9 Desember 2025 di Ruang Sidang Purwoto Gandasubrata. GMTD menunjuk Robert Tandi Arung sebagai kuasa hukum, sementara PT Hadji Kalla bersama Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar menjadi pihak tergugat.
Humas PN Makassar, Wahyudi Said, belum memberikan komentar hingga berita ini tayang. Pihak GMTD melalui Humasnya, Anggraini, juga belum memberikan pernyataan resmi.
Hadji Kalla Siapkan Tim Hukum dan Bantah Dalil GMTD
PT Hadji Kalla telah menunjuk dua tim kuasa hukum, yakni kantor advokat Hasman Usman, SH, MH, serta kantor hukum Hendropriyono and Associates.
Kuasa Hukum PT Hadji Kalla, Muhammad Ardiansyah Harahap, menegaskan bahwa perusahaan telah menyiapkan strategi hukum komprehensif untuk menghadapi seluruh dalil GMTD.
“Kita akan meladeni dan menjawab semua tuntutan dari GMTD,” ujarnya saat konferensi pers di Wisma Kalla, Kamis (4/12/2025).
Ardiansyah menjelaskan, PT Hadji Kalla mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) sejak 1996 dan telah menguasai fisik lahan sejak itu, termasuk membayar penjaga, memasang pagar dan papan nama pada 2010, hingga rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Pertanyakan Legalitas Gugatan dan Struktur Kepemilikan GMTD
Dalam keterangannya, kuasa hukum PT Hadji Kalla mempertanyakan legalitas gugatan GMTD. Mereka menyoroti tidak adanya persetujuan dari seluruh pemegang saham GMTD—termasuk Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar, Pemkab Gowa, dan Yayasan Pembangunan Sulsel—terhadap langkah hukum ini.
Selain itu, mereka juga menyinggung indikasi keterlibatan Lippo Group dalam struktur kepemilikan GMTD melalui perusahaan afiliasi dan perusahaan cangkang. Pernyataan pemilik Lippo Group, James Riyadi, yang menyebut GMTD adalah milik pemerintah daerah dianggap bertentangan dengan komposisi manajemen perusahaan.
Duga Rekayasa Hukum di Perkara Terdahulu
PT Hadji Kalla juga mengungkap dugaan rekayasa hukum pada perkara-perkara sebelumnya yang objek sengketanya berada di lahan yang sama. Tim hukum menilai ada pola mafia pertanahan yang memanfaatkan perkara fiktif sebagai dasar untuk memperoleh putusan yang menguntungkan pihak tertentu.
Ardiansyah memastikan bahwa PT Hadji Kalla siap menempuh seluruh jalur hukum, termasuk upaya pidana, jika ditemukan kejanggalan dalam penerbitan sertifikat GMTD.
Prof. Hamid Awaluddin: Sertifikat Lebih Awal, Pemilik Sah Lebih Kuat
Pakar hukum Prof. Hamid Awaluddin turut memperkuat posisi PT Hadji Kalla. Ia menilai gugatan GMTD janggal karena sertifikat PT Hadji Kalla terbit lebih awal pada 1996, sedangkan GMTD baru pada 1997.
Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung, dua sertifikat sah yang tumpang tindih menempatkan dokumen yang terbit lebih dulu sebagai yang paling kuat secara hukum.
Prof. Hamid juga memaparkan kronologi historis penguasaan lahan oleh PT Hadji Kalla: pengukuran tanah pada 1991, akta jual beli tahun 1993, SHGB tahun 1996, hingga perpanjangan SHGB hingga 2036.
“Semua dokumen itu otentik. Jadi siapa pemilik sah? Sudah jelas,” ujarnya.
Ia kemudian menutup dengan pernyataan tegas: “Jangan sampai Anda dikategorikan pencuri yang justru teriak maling.”(ar/#)









