JAKARTA, NEWSURBAN.ID — BPJS Kesehatan jadi syarat wajib jemaah umroh dan jual beli tanah menuai kritik. Warga menganggap Keputusan Presiden Joko Widodo itu, membuat urusan birokrasi di Indonesia semakin ribet.
Penerapan syarat itu, mengacu pada keputusan Presiden Jokowi yang mewajibkan keikutsertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai syarat pendaftaran haji dan umroh. Termasuk dalam transaksi jual beli tanah. Masyarakat menganggap syarat itu tak ada korelasi dengan objek yang wajib mengikuti.
Bahkan, sebagian masyarakat mengaku keberatan dan meminta Jokowi mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Kesehatan Nasional.
Seorang warga Makassar, Akbar kepada newsurban.id mengaku keberatan dengan aturan itu. Ia mengatakan, kewajiban calon peserta haji sebagai peserta BPJS membuat birokrasi semakin rumit dan panjang. Begitu pun soal wajib untuk transaksi jual beli tanah.
“Urusan birokrasi semakin ribe. Saya keberatan karena alurnya semakin panjang,” kata Akbar, Minggu (20/2).
Ia juga mempertanyakan hubungan keikutsertaan BPJS dengan pendaftaran haji. Begitu juga dalam hal transaksi jual beli tanah.
Selain itu, dalam urusan properti, ia juga merasakan syarat ini, menyulitkan konsumen. Karena, membeli tanah pun harus punya BPJS.
Negara Terlalu Memaksakan Warganya
Karena itu, Ia meminta Jokowi mencabut Inpres tersebut. “Apa hubungannya BPJS Kesehatan sebagai syarat untuk haji dan umroh? Begitu juga dalam transaksi properti” ucapnya.
Sementara itu, mengutip CNNIndonesia.com, seorang mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Sidik Nur Toha (24) merespons baik instruksi Jokowi. Menurutnya, kebijakan itu mempercepat masyarakat dalam menjangkau jaminan kesehatan.
Selain itu, orang-orang yang mendaftar haji dan umroh merupakan kelompok yang mampu. Hanya saja, kata Sidik, banyak dari mereka tidak begitu mempedulikan kondisi kesehatannya di masa mendatang.
“Karena dua kondisi itulah, satu dia mampu kedua dia banyak orang yang belum aware, syarat itu menurutku bagus,” kata Sidik.
Terkait kebijakan itu, seorang karyawan swasta warga Jakarta, Yaumal Asri Adi Hutasuhut, menilai negara terlalu memaksakan warganya menjadi peserta BPJS.
Meskipun calon peserta haji dan umroh bisa saja termasuk orang yang mampu, bisa saja mereka sudah memiliki asuransi kesehatana sehingga tidak mendaftar BPJS.
“Negara terlalu memaksakan warga negaranya. Maksudnya haji ya haji, kenapa BPJS itu jadi persyaratan?” ucap Yaumal memprotes kebijakan itu.
Ia menduga melalui kebijakan ini, pemerintah bermaksud mengambil uang masyarakat selain melalui skema pajak.
Sebab, kondisi ekonomi sedang tidak begitu baik. Sementara, uang BPJS yang sudah di bayarkan tidak bisa di ambil kembali.
“Karena terjadi pelemahan ekonomi atau jangan-jangan butuh dana untuk IKN juga nih mau di pergunakan. Nggak menutup kemungkinan itu juga kan? Karena dana itu enggak kembali,” ujar Yaumal merespons keputusan pemerintah menjadikan BPJS Kesehatan jadi syarat wajib dalam berbagai urusan.
“Jadi intinya kayak modusnya negara untuk mengambil uang rakyat sebanyak-banyaknya di luar dari pajak,” imbuhnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Agama agar kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat calon jamaah Umrah dan Haji.
“Mensyaratkan calon jamaah Umrah dan jamaah Haji khusus merupakan peserta aktif dalam program JKN,” tulis Inpres Jokowi.
Aturan serupa juga di terapkan bagi orang-orang yang hendak membuat SIM hingga membeli tanah. (bs/*)