SOPPENG, NEWSURBAN.ID – Musyawarah Besar atau Mubes IKA SMPN 1 Watansoppeng menuai sorotan. Pasalnya, Pemilihan Ketua Watansoppeng yang berlangsung dalam Mubes IKA SMPN 1 Watansoppeng, Sabtu (30/7/2022),dianggap jauh dari proses demokratis. Bahkan, terkesan-diatur.
Proses yang-dianggap tidak demokratis itu, berbuntut sorotan sejumlah alumni. Salah satunya, Djusman AR.
Dia mengaku kekhawatirannya selama ini, terkait pembentukan IKA SMPN 1 Watansoppeng terbukti.
“Apa yang-dikhawatirkan berkait potensi set-(diatur), khususnya pada pemilihan Ketua IKA. Tampaknya, kekhawatiran itu terbukti,” ujar pegiat Antikorupsi itu.
Dalam Mubes IKA SMPN 1 Watansoppeng itu, Fankar Umran terpilih aklamasi sebagai Ketua. Terpilihnya Fankar secara aklamasi, terkesan sudah melaui set sejak awal oleh oknum panitia. Itu terlihat saat Fankar mendapat panggung tampil tunggal menyampaikan sambutan di depan para alumni.
Pada sambutan tersebut, Djusman mulai melihat hal yang tidak normal dan jauh dari proses demokratis. “Kenapa hanya dia (Fankar Umran). Dan, kenapa bukan debat atau pemaparan visi misi program,” ujarnya.
Baca Juga:Â Digagas Sejumlah Alumni, IKA SMPN 1 Soppeng Segera Dibentuk, Caketumnya dari Berbagai Profesi
Kemudian, Ketua Panitia Erman saat itu, meneriakkan aklamasi untuk Fankar di hadapan alumni di lapangan. Pada akhirnya alumni lainnya protes dan kemudian-dilanjutkan ke ruang kelas dengan menghadirkan beberapa angkatan.
Selain itu, panitia juga-dianggap mengabaikan prinsip Jurdil. Terlihat dari sikap panitia yang tidak memberi kesempatan atau konfirmasi kepada angkatan lain soal pemilihan ketua. Padahal ada angkatan 85 dan 87 berkehendak maju.
“Kalau saya memang tidak bersedia dengan segala pertimbangan khususnya berkait profesi saya anti korupsi,” tuturnya.
“Menjelang bermufakat di ruang kelas, Fankar menghampiri saya bersama orang-orangnya. Mengajak dan membujuk saya masuk dalam kepengurusannya sebagai Ketua Dewan Pembina dan Bupati Ketua Dewan Penasihat,” tambahnya.
Djusman AR Tolak Bergabung
Namun Djusman menolak tawaran itu dengan berbagai pertimbangan yang prinsip.
“Maaf saya tidak bersedia, ajak saja yang lain. Kalau saya terima atau masuk distruktur anda maka itu sama saja saya turut melegitimasi keterpilihannya secara non demokratis, maaf saya tidak suka itu,” jelas Djusman.
“Penolakan saya itu berulang-ulang karena dia juga tak henti-hentinya membujuk saya. Sikapnya itu disaksikan oleh oknum panitia, orang-orangnya dan beberapa ibu-ibu serta angkatan lainnya dan sepanjang perjalanan saya menuju Makassar bergantian menghubungi, dan saya tetap konsisten menolak,” paparnya.
Djusman juga menolak masuk dalam struktur pengurus IKA yang tidak-didukung sepenuhnya oleh para Alumni.
“Tawaran jabatan saja yang jelas bergaji besar dan serta fasilitas, saya tolak keras. Apalagi kalau cuma pengurus IKA,” ujarnya.
“Maaf jika saya bersikap demikian, dan itulah Hak Asasi saya. Pantang bagi saya berkolaborasi dengan sesuatu hal yang tidak benar. Nihil prinsip-prinsip edukasi apalagi di lembaga pendidikan,” tegasnya.
“Jadi memang menjadi lelucuan, bapak-bapak yang duduk disamping saya, spontan berkata, kenapa ada pemilihan begitu? pemilihan ketua OSIS saja tidak begitu,” ungkapnya.
“Mendengar letukan itu, saya dibuatnya tertawa dan memilih keluar menyulut rokok saya sembari terbahak bersama alumni yang lain,” kata dia lagi.
Djusman menegaskan, semua alumni berhak dan layak menjadi ketua. Karena itu, dia tidak mempersoalkan personal ketua. Yang dia persoalkan adalah proses pemilihannya yang cenderung tidak demokratis. Apalagi, pemilihan berlangsung di lingkungan sekolah dan-disaksikan para guru, beberapa mantan kepala sekolah, dan siswa, sama sekali tidak menyuguhkan edukasi demokrasi dalam berorganisasi.
“Pastinya kejadian tersebut menjadi penilaian tersendiri. Harusnya sebagai orang yang lebih senior memperlihatkan sikap keteladanan terhadap adik-adik atau juniornya. Bukan malah kesannya opportunis hingga melabrak nilai-nilai berdemokrasi,” pungkasnya.
“Karena sikapnya itu, muncullah cibiran “Baru saja dia bilang sebaiknya yang jadi ketua. Jangan orang di luar Soppeng atau Sulsel domisilinya, ehhh malah melucu,”
“Dan bersebaran informasi beberapa angkatan yang telah-dihubungi, juga menolak jadi pengurus. dalam sebaran itu tertulis 85, 86, 87, 88, 76, 77, 78 dan banyak angkatan lainnya menolak keterpilihan Fankar melalui mekanisme tidak fair dan tidak bersedia jadi pengurus,” terangnya.
“Coba ajak bakal Caleg, mungkin mau. Dengar-dengar alumni yang akan-dipasang pengurus inti adalah kader partai. Jangan gadaikan IKA ya. Salam,” pungkas Djusman AR.
Jangan Seret ke Politik Praktis
Sebelumnya, Djusman AR mengingatkan kepada Alumni yang memimpin IKA SMPN 1 Watansoppeng untuk tidak menggiring organisasi tersebut ke politik praktis.
“Secara pribadi sebagai Alumni, siapapun kelak terpilih sebagai Ketum IKA begitupun para pengurusnya tidak membawa organisasi kekeluargaan IKA dalam kancah Politik praktis. Soal pilihan-dikembalikan pada individu masing-masing. Artinya, IKA nantinya itu harus tegas,dilarang mengatasnamakan IKA Alumni SMPN 1 Soppeng untuk mendukung salah satu calon pada Pilkada,” tutupnya. (*)