Di Negeri Tanpa Yahudi, Taurat Hadir dalam Dialek Bugis Soppeng
Oleh : H. Ahmad Saransi

Antara Akademik dan Harmoni Sosial
NEWSURBAN.ID – Penerjemahan Kitab Taurat ke dalam bahasa Bugis dialek Soppeng oleh Mr. Douglas Laskowke, M.A., memantik gelombang protes dari masyarakat Kabupaten Soppeng. Publik wajar merasa heran: di daerah yang mayoritas beragama Islam dan sebagian Kristen itu, tidak ada satu pun komunitas Yahudi yang menjadi basis penggunanya.
Pertanyaan besar pun muncul: untuk siapa sebenarnya terjemahan ini ditujukan? Apakah murni untuk kepentingan akademik, atau justru ada motif lain yang belum jelas?
Kekhawatiran masyarakat ini menemukan pijakan. Sebab, literasi tidak selalu netral. “Satu peluru hanya bisa membunuh satu orang saja, sedangkan satu buku bisa meracuni ribuan pemikiran orang.” Peringatan tersebut menggambarkan betapa besar pengaruh sebuah buku. Ia bisa menjadi sumber pencerahan, tetapi juga bisa menjadi alat penetrasi pemikiran yang membahayakan bila tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Di satu sisi, kita perlu menghormati kerja intelektual, termasuk penerjemahan teks agama. Namun di sisi lain, aspek sosial dan kultural tidak boleh diabaikan. Penerbitan kitab yang tidak relevan dengan masyarakat justru menimbulkan kecurigaan, bahkan berpotensi merusak harmoni sosial yang telah lama terjaga.
Pemerintah Kabupaten Soppeng memiliki tanggung jawab besar untuk bersikap arif. Kebijakan tidak boleh semata-mata menilai dari sisi akademik, tetapi juga harus mempertimbangkan maslahat sosial. Literasi memang penting, tetapi literasi yang salah arah bisa menimbulkan keresahan.
Di titik inilah urgensi regulasi literasi semakin terasa. Masyarakat Soppeng bukan menolak ilmu pengetahuan. Mereka hanya khawatir jika sebuah karya yang tidak relevan justru membawa dampak negatif, bukan manfaat.
Kehati-hatian mutlak diperlukan. Sebab, benar adanya pepatah: peluru hanya menghancurkan tubuh, tetapi buku bisa mengubah cara berpikir dan itu jauh lebih dahsyat dampaknya. “Salamakki Tapada salama”