NewsPerspektif

Di Hulu Hutan Dibabat Tanah Ditambang, Sungai Malili Tercemar

Dulu airnya jernih, kini keru kecoklatan. Sungai Malili yang membelah ibu kota Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, tercemar akibat hutan di hulu dibabat. Tanahnya ditambang.

Laporan: Syaifuddin

Sungai Malili yang terbentang di Desa Balantang, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel), sepekan ini menyita perhatian publik. Khususnya, masyarakat Luwu Timur.

Pasalnya, sungai yang menjadi ikon ibu kota Kabupaten Luwu Timur itu, dulunya jernih, kini terlihat tak seperti biasanya. Airnya keruh berwarna kecoklatan.

Ahmad Rumpak salah satu warga Dusun Lampia, Desa Harapan, Kecamatan Malili, Luwu Timur mengaku cukup prihatin dengan kondisi sungai malili. Betapa tidak, semasa hidup di daerah itu, ia mengaku baru pertama kali melihat air sekeruh itu.

Lelaki yang sudah berumur kurang lebih 70 tahun ini, menduga perubahan air sungai itu akibat kerusakan hutan di hulu. Kuat dugaan aktivitas illegal loging, pembukaan lahan, dan aktivitas pertambangan sebagai pemicunya.

Tak hanya Sungai Malili. Menurutnya, akibat aktivitas eksploitasi alam itu, sungai lain seperti, Bone Puteh, Batang Tomba, Oroia, Saluporo, dan Tandadoro bernasib sama airnya kebiru-biruan, penuh lumut.

Di hulu sungai ini, aktif penebangan hutan. Belum lagi aliran sungai dari Sulawesi Tenggara di mana hulunya belangsung aktivitas pertambangan.

“Kalau mau kita bahasakan, Sungai Malili tercemar karena aktivitas pertambangan PT CLM itu juga agak keliru. Karena sumber yang paling besar, yakni aktivitas illegal loging. Juga ada aktivitas eksploitasi lainnya di hutan hulu sumber air sungai,” kata Ahmad dulu pencari damar di hutan.

Ia pun mengklaim, dulu, aktivitas loging sejumlah oknum hanya menggunakan sapi atau kerbau untuk menarik kayu dari hutan.

Namun, sekarang sangat berbeda. Oknum yang melakukan illegal loging menggunakan ekskavator dan blouduser.

“Kita bisa menduga hal inilah banyak menyumbang air Sungai Malili berubah warna menjadi keruh kecoklatan,” ujarnya.

Kehutanan Provinsi Sulsel

Lelaki itu, tak lagi mencari damar di hutan hulu sungai akibat komersialisasi lahan oknum tertentu.

Ahmad beralih profesi sebagai petani murica untuk menghidupi keluarganya hingga menyekolahkan anak.

Dengan maraknya, tindakan ilegal loging, Ahmad sudah berulah kali melaporkan kepada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Luwu Timur. Tetapi, bukannya menindaklanjuti laporan itu, malah terkesan mengabaikan.

“Berapa kali saya laporkan permasalahan ini. Namun, KPH Luwu Timur berkewajiban melakukan penindakan, malah tidak gubris sama sekali. Saya pun memberikan beberapa dokumen (foto), tapi dia bilang foto itu tidak valid. Karena tidak ada titik koordinatnya,” ungkapnya.

“Saya kembali laporkan permasalahan itu dan menemukan aktivitas ilegal loging. Saya mengajar anggota TNI Babinsa dan aparat desa setempat untuk melihat pasti aktvitas ilegal loging. Serta mengambil foto sesuai permintaan Pak Mandar (KHP Luwu Timur). Tapi ada terjadi, sampai sekarang ini KHP Luwu Timur, tidak melakukan tindakan apapun,” katanya.

Tak sampai di situ, Ahmad pun tidak habis akal sehingga permasalahan tersebut melaporkan di Gakkum KLHK Sulawesi, untuk menidaklajuti permasalah ini. “Tidak adanya respon sama sekali pihak KPH Luwu Timur. Sehingga saya berinisiatif melaporkan hal ini kepada Gakkum KLHK Sulawesi,” ucapnya.

Upayanya itu, hanya semata karena punya tanggung jawab moril untuk melindungi hutan dan memelihara hutan. “Serta melaporkan jikalau ada orang merusak hutan yang tidak bertanggungjaawab kepada pihak yang berwenang,” katannya.

KPH Luwu Timur Berkilah

Sementara itu, KPH Luwu Timur, Mandar mengatakan permasalahan itu sudah lama pada bulan Agustus 2021 lalu. Tapi baru beredar di media sosial.

“Itu permasalahan sudah lama dia mengajak Babinsa dan aparat desa,” ucapnya melalui via WhatsApp mengutip Newsurban.id, Minggu (27/11/21).

Ia mengatakan Ahmad melaporkan masalahan itu dengan motif sakit hati. Lanjut Mandar, Ahmad mengklaim bahwa lahan yang ia laporkan ia klaim miliknya.

“Walaupun hutan yang di rambah orang lain adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT) itu pun tidak punyak hak. Intinya, siapapun dia melakukan aktivitas wilayah tersebut tidak punya hak untuk mengklaim bahwa dia punya lahan,” tegasnya.

Mandar mengaku, hingga kini belum meninjau lokasi yang Ahmad laporkan. “Saya belum memang tinjau lokasi itu. Tapi dalam dekat ini saya akan turun langsung untuk menijaunya,” pungkasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button