MAKASSAR, NEWSURBAN.ID — Wabah Flu Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) yang sudah mewabah mulai menghantui dua Provinsi di Sulawesi yakni Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Untuk provinsi Sulawesi selatan, tepatnya di Kabupaten Luwu Timur, hewan ternak milik masyarakat yang mencapai angka 34 ribu ekor mati mendadak lantaran terjangkit wabah Flu Babi Afrika mencapai angka 34 ribu ekor.
Hal ini terungkap setelah Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Luwu Timur merilis data angka kematian hewan ternak babi di Luwu Timur yang meningkat drastis, Jumat, 16 Juni 2023.
Dokter hewan Dinas Pertanian dan Ketahanan pangan, di bidang peternakan Kabupaten Luwu Timur, drh. Gusti Ngurah menyakinkan kepada masyarakat bahwa wabah Babi Afrika selama ini menyerang tidak-lah membahayakan bagi manusia dan bagi hewan lainnya. Hanya saja, kata dia, virus tersebut menularkan ke hewan ternak sejenisnya.
“Virus Babi Afrika tidak-lah berbahaya seperti virus–virus lainnya. Virus ini juga tidak dapat menular ke tubuh manusia ataupun ke hewan ternak lainnya seperti sapi dan lainnya,” ungkapnya.
Baca Juga: 17.105 Ekor Babi Mati Mendadak di Luwu Timur Akibat Flu Babi Afrika, Peternak Gulung Tikar
Walaupun saat ini, Gusti mengakui virus Babi Afrika makin ganas setelah melakukan pendataan dengan jumlah kematian hewan ternak masyarakat. Dia menyarankan kepada masyarakat yang peternak babi untuk meningkat pembersihan kadang ternak secara rutin serta pembelian bibit yang berkwalitas dan tidak mengalami sakit.
“Masyarakat harus memperhatikan Biosekuritinya. Mulai dari sekarang masyarakat harus lebih intens melakukan pembersihan kandang. Alur lalu lintas hewan ternak atau membeli bibit jangan sembarangan. Kadangkala masyarakat beli bibit Babi dalam kondisi sakit, karena harga cuku murah lalu di ambil,” ujarnya.
Sulawesi Tengah Kematian Babi Capai Seratus Persen
Sedangkan Provinsi Sulawesi tengah flu Babi Afrika sudah tersebar di tiga kabupaten kabupaten yakni Poso, Morowali Utara dan Parigi Moutong. Angka kematian hewan ternak masyarakat berdasarkan data Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah sampai bulan Juni 2023 sudah mencapai puluhan ribu.
Menurut keterangan Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan masyarakat di Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah, Dandi Alfita bahwa Sulawesi tengah menjadi zona merah penyebaran virus demam babi.
“Virus Babi Afrika sangat mematikan, karena tingkat kematian pada ternak babi mencapai seratus persen di Sulawesi Tengah,” ungkapnya, mengutip herald.id Jumat, 16 Juni 2023.
Baca Juga: Terpapar Virus Flu Babi Afrika, Ribuan Ekor Babi Mendadak Mati di Luwu Timur
Alfita mengungkapkan terjadi wabah penyakit demam babi afrika ini, pemerintah provinsi Sulawesi Tengah langsung mengeluarkan surat edaran untuk kabupaten/kota di Sulawesi tengah tentang kesiapsiagaan terhadap penyakit Flu Babi Afrika saat ini menjadi ancaman bagi peternak babi.
“Dari surat edaran itu akan di tindaklajuti oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa poin yang terterah,” ucapnya.
Alfita mengakui masuknya penyakit flu Babi di Sulawesi Tengah cukup kewalahan untuk mengakomodir masyarakat untuk memusnahkan bangkai Babi sudah mati. Katanya dia, sebagai masyarakat membuang bangkai babi di sungai dan laut. “Masyarakat hanya simplenya saja. Sehingga bangkai Babi mati seharusnya di kubur, malah di buang ke laut,” katanya.
“Namun kali ini, setelah dibuatkan surat edaran dari Gubernur Sulawesi Tengah, tidak ada lagi bangkai babi di buang ke laut. Jika ditemukan hal itu, pemerintah setempat akan memberikan sanksi kepada orang-orang yang membuang bangkai hewan ternaknya di laut,” tandas Alfita.
Keluhan Masyarakat
Mewabahnya flu babi ini membuat sebagian masyarakat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah tidak ingin memakan ikan laut. Ini akibat banyaknya bangkai mengapung di muara sungai sampai ke laut. Bahkan, sebagian masyarakat hanya mengkonsumi tempe dan telur untuk penganti ikan sebagai lauk.
“Selama beredar foto dan video di media sosial banyak bangkai babi mengapung di laut, di situ juga saya tidak lagi beli ikan lagi untuk di makan. Untuk penganti ikan sebagai lauk hanya bisa beli telur dan tempe,” kata Becce warga Poso.
Keluhan itu, juga di rasakan warga Luwu Timur, Santi. Dia tidak makan ikan sudah hampir dua bulan setelah beredarnya kabar bahwa bangkai babi sudah ada pengapung di laut.
“Walaupun saya suka makan ikan. Setelah beredarnya vidoe dan foto-foto ada bangkai babi di laut di situ juga saya tidak makan ikan,” katanya.
Ekonomi Masyarakat Cukup Pengaruh
Tak hanya itu, keluhan lainnya datang dari penjual Ikan. Nurdin mengatakan setelah adanya flu babi, hasil jualnya ikan makin menurun.
“Masyarakat sekarang sebagian tidak mau makan ikan, karena ada bangkai babi hanyut di laut,” katanya.
Sebelum adanya flu babi hasil jual ikan bisa meraup keuntungan Rp. 200 Ribu sampai Rp. 500 ribu perharinya di pasar. “Setelah ada namanya flu babi, modal ikan tidak kembali, apalagi mau untung,” ucapnya.
Sementara, peternak hewan Babi di Luwu Timur, Eko Polabessy, mengatakan menjual murah babi dengan harga miring . Ini ditakutkan semakin rugi.
“Sedikitnya 400 ekor babi dijual dengan harga murah. Harga sebelumnya jauh berbeda, bisa di katakan gulung tikar. Penjualnya, di Morowali karena banyak pekerja dari China di sana,” ucapnya.
Baca Juga: Polda Sulteng Tangkap 14 Pelaku Perdagangan Orang, Korbannya Ada Anak Masih di Bawah Umur
Virus African Swine Fever (ASF) tak hanya ada di Batam, Bali dan Kalimantan saja. Saat ini kasus Flu Babi Afrika sudah di temukan di Kabupaten Luwu Timur, Sulsel.
Sebagai informasi, Flu babi Afrika merupakan penyakit yang di sebabkan oleh virus DNA kompleks yang hanya menyerang spesies babi dari semua golongan ras dan umur. Awal mulanya, ASF hadir di Afrika, karenanya penyakit yang satu ini di kenal dengan flu babi Afrika. Bahayanya, ASF tahan terhadap segala macam kondisi lingkungan.
ASF merupakan penyakit virus pada babi yang mematikan. Mengapa mematikan? Pasalnya, sampai sejauh ini belum ada vaksin atau obat yang di temukan untuk mencegah atau mengatasi ASF. Flu babi Afrika merupakan penyakit yang hampir mirip dengan demam babi klasik yang hanya dapat-dibedakan lewat penelitian laboratorium.
Hingga saat ini, belum ada data yang menyebutkan bahwa penyakit ini dapat melakukan penularan kepada manusia. Sampai saat ini, belum ada vaksin yang-ditemukan untuk mencegah atau mengatasi terjadinya flu babi Afrika. Di daerah yang terinfeksi, pengendalian dengan melakukan pembunuhan kepada semua babi, kemudian akan di hancurkan bangkainya. Setelah itu, proses pembersihan dan desinfeksi pun-dilakukan.
Penyakit yang satu ini merupakan masalah kesehatan serius yang penting untuk diperhatikan terkait perdagangan internasional hewan dan produk hewan. Dalam hal ini, langkah pencegahan dapat melakukan dengan larangan ekspor atau impor dari daerah yang terkena dampak. Sehingga untuk mengantisipasi tingkat kerugian ekonomi masyarakat yang sangat besar. (*)