Catatan Perjalanan Sumba Egy Massadiah (Bagian Pertama)
NEWSURBAN.ID – “Pak Egy harus ke sini. Ini luar biasa,” suara Doni Monardo di ujung telepon. Rupanya, ia tengah berada di Nihi Resort, Sumba, Nusa Tenggara Timur. Saya sungguh penasaran. Apalagi ditambahi kalimat susulan, “rugi kalau gak ke sini.”
Tanpa pikir panjang, saya berangkat. Perjalanannya cukup mudah. Dari Bandara Soekarno Hatta pagi hari langsung ke Denpasar, transit satu jam, lanjut terbang satu jam ke bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya. Letak bandaranya berada di pesisir utara pulau Sumba, tepatnya di daerah Radamata.
Sementara, Nihi Resort adanya di pesisir selatan. Tapi bukan masalah. Sebab, Sumba adalah pulau yang relatif kecil. Luas keseluruhan hanya 11.000 km2. Jarak Tambolaka ke Nihi pun tak jauh, hanya 62 km. Perjalanan ke Nihi menggunakan mobil, saya tempuh dalam waktu 1,5 jam, melewati rute Waimanguar dan Waikaboebak.
Tibalah saya di Nihi. Sebuah resort yang pernah viral karena diinapi David Beckham dan keluarganya. “Hotel terbaik di dunia” dua tahun berturut-turut ini bukanlah sebuah bangunan gedung mewah dengan arsitektur bergaya Eropa lengkap dengan ornament interior yang wah.
Inilah Nihi Sumba. Hotel dengan tagline “Edge Of Wildness™” (tepi yang liar). Itu ditegaskan dalam narasi Nihi sebagai materi promosi. Nihi, disebut bukan sekadar pelarian sementara dari rutinitas sehari-hari. Inilah perjalanan kembali ke kehidupan sesungguhnya. Dimana keistimewaan bertemu kebebasan yang tanpa bertepi.
Nihi adalah tempat merasakan hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Sebuah surga untuk petualang, pengembara yang haus akan ambisi dan penuh rasa penasaran. Siapa pun yang datang, akan terpatri sebuah kesan abadi. Inilah liburan dengan sebuah tujuan. Destinasi wisata penuh makna. Ruang kontemplasi yang hening.
Itu semua benar adanya. Selama beberapa hari menginap di sana, nilai-nilai hakiki dari hakikat berlibur saya temukan. Paduan resort tepi pantai, dikelilingi hutan di bibir Samudera Hindia serta pelayanan yang excellent.
Pagi hari, sebuah perahu motor sudah disiapkan untuk pergi memancing. Nakhoda kapal motor mengarahkan ke lokasi rumpon yang sudah lama dibenamkan di dasar laut. Kurang satu jam dari bibir pantai, kapal berhenti di spot yang dituju, sejurus kemudian Doni Monardo pun melempar umpan dari joran pancing.
Selanjutnya adalah detik-detik penantian. Saya pribadi bukan sekali ini menemani Doni Monardo memancing di laut lepas. Suatu hari kami memancing di laut lepas Aceh. Kali lain kami juga pernah memancing di sekitar laut Bangka. Terus terang, baru kali ini saya menangkap ekspresi rasa puas di raut wajah Doni.
Betapa tidak. Belum lama mata kail terbenam, senar pancing sudah bergetar, tanda umpan disambar ikan. Cepat Doni menghentak joran pancing ke atas, dan memutar rel pada joran untuk mengangkat ikan dari dasar laut. “Perjuangan” strike mancing di laut, jauh lebih berat dibanding strike ikan tawar di empang.
“Perlawanan” ikan laut sungguh sangat menguras tenaga, setidaknya lumayan membuat lengan pegal. Melihat bagaimana Doni menaklukkan perlawanan ikan dari atas kapal motor yang bergoyang-goyang, sungguh seru. Kami semua ikut merasakan tegang selama hampir 20 menit.
Rasa plong membuncah demi melihat sekelebat ikan berwarna kuning kehijau-hijauan di permukaan laut. Begitu sudah berada pada jarak jangkauan, seorang caddy langsung menyambar ujung senar dan mengangkat ikan ke atas geladak.
Satu ekor ikan mahi-mahi meronta-ronta, sebelum akhirnya diam pasrah. “Luar biasa. Rumponnya sangat bagus. Ikannya banyak. Baru sebentar lepas umpan, sudah dapat ikan. Horeee….,” pekik Doni Monardo, senang.
Aktivitas memancing pagi itu sungguh terbilang sangat sukses. Hanya dalam waktu beberapa jam saja sudah berhasil mendapatkan sejumlah ikan mahi-mahi yang siap kami masak untuk santap siang nanti.
Sedikit informasi. Ikan mahi-mahi juga dikenal dengan nama ikan lemadang. Nama lain dari ikan ini adalah Coryphaena Hippurus.
Lemadang banyak ditemukan di perairan Meksiko, Hawaii, dan Samudra Hindia. Tekstur daging ikan lemadang mirip dengan tuna. Seperti kebanyakan ikan laut lain, mahi-mahi juga memiliki kandungan protein, lemak, vitamin, dan mineral yang berlimpah. Sebuah referensi menyebutkan, ikan mahi-mahi merupakan sumber vitamin B12, fosfor, vitamin B6, niasin, dan selenium yang baik.
Sensasi Tanpa Tepian
Sungguh, berlibur di Nihi hanya akan mendapatkan kata takjub dan takjub. Maaf, saya harus melempar pertanyaan ini, “Kapan terakhir kali Anda mandi di ruang terbuka tanpa dinding pembatas?”
Secara normatif, jika Anda seorang laki-laki (dan muslim), umumnya pasti akan menjawab, “Sebelum disunat.” Itu artinya, masih kategori bocah. Alhasil, ada desir yang sangat luar biasa di dada, ketika saya harus mandi di ruang yang (relatif) terbuka, di atas bukit dengan pemandangan laut terbuka. Airnya mengalir dari pancuran bambu.
Sensasi mandi di ruang terbuka itu saya rasakan usai mencicipi terapi relaksasi di sebuah tempat spa yang beratapkan keteduhan alam. Tanpa dinding sehingga sepoi angin bebas bergelantungan. Jaraknya 30 menit berkendara dari Nihi Resort.
Menuju titik tempat spa ini, kami berjalan kaki menuruni bukit yang kiri kanannya rimbun. Memang begitulah desain tempat mandi di spa yang satu ini — yang merupakan bagian dari paket berlibur di Nihi.
Sebuah konsep yang menenun unsur alam: pepohonan rimbun, pemandangan ke laut lepas, serta unsur-unsur etnik dalam setiap mata memandang.
Wajah Wisata
Sambil meneguk air kelapa muda dari batoknya, kami berbincang tentang “turisme” atau kepariwisataan. Bertolak dari contoh Nihi, Doni Monardo lugas berkata, “Inilah wajah pariwisata Indonesia yang sebenarnya (dan seharusnya).”
Pariwisata Indonesia harus dibangun dengan sebuah filosofi. Ini penting. “Jangan melawan kehebatan orang (negara) lain, tapi lawanlah dengan keunggulan yang tidak dimiliki orang (negara) lain,” ujar Doni.
Contoh kongkrit, hotel Nihi adalah sebuah anomali dari stigma kata “mewah” atau luxury di bidang sarana akomodasi. Model seperti Nihi-lah yang seharusnya dibangun dan dikembangkan di objek-objek wisata Indonesia. “Jangan bangun hotel berbentuk bangunan tinggi. Tidak mungkin kita bisa mengalahkan hotel pencakar langit super mewah yang ada di New York, Shanghai, dan kota-kota besar modern lain,” katanya.
Sebaliknya, bangunlah resort di hutan-hutan, di lahan gambut, di tepi pantai, di pinggir hutan bakau, dan tempat-tempat eksotik lain, yang bukan kekuatan negara lain. Tentu dengan memperhatikan dan merawat alam agar tidak rusak. “Terbayang kan, bagaimana kalau ada resort di tengah hutan. Beberapa kamar dibangun di atas pohon. Itu yang harus dijual kepada turis asing yang kaya-kaya. Termasuk kepada konsumen domestik dari kelompok the have,” papar Doni.
Sajikan Lokal
Sekilas hal itu mengingatkan saya pada satu peristiwa yang melibatkan nama Jusuf Kalla pada tahun 2013, meski dalam konteks yang berbeda. Begini ceritanya.
Alkisah, para tokoh yang tergabung dalam Centrist Asia-Pacific Democrats International atau CAPDI bertemu untuk membahas peranan mereka dalam rekonsiliasi konflik dan antisipasi perubahan iklim. Kedua topik itu menjadi fokus agenda sidang kedua Majelis Umum CAPDI di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (20/5/2013).
Konferensi CAPDI saat itu, dihadiri ratusan peserta dari 19 negara. Beberapa tokoh penting yang hadir, antara lain, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, mantan Presiden Filipina Fidel Ramos, mantan Ketua DPR Filipina Jose de Venecia, dan mantan Perdana Menteri Nepal Madhav Kumar.
Sebagai tuan rumah, JK memperhatikan detail sampai ke soal jamuan. Bahkan untuk menyiapkan hidangan buat para tokoh CAPDI, panitia mendatangkan chef hotel bintang lima asal Jakarta. Tersebutlah, chef menyiapkan menu steak.
Sontak JK protes, “Eh, apa ini! Bubarkan! Kalian setengah mati bikin steak, belum tentu bisa melawan steak yang biasa mereka makan di negara asalnya. Ganti!”
JK pun secara spesifik meminta panitia menyiapkan menu udang, kepiting, ikan bakar baronang, cobe-cobe, palumara, dan menu-menu lokal lainnya.
Seorang panitia melempar usul, dan mencoba menyela, “Tapi, pak…. Nanti kasihan para perdana menteri terkena asap ikan bakar.” Sambil tertawa JK, menjawab, “Biar saja. Biar mereka merasakan atmosfer kuliner khas Indonesia. Saya yakin, itu akan membuat mereka terkesan.”
Kepada chef pun, JK mencoba memberi pemahaman tentang pentingnya “menjual” lokalitas Indonesia, termasuk dalam hal kuliner. Kepada orang Barat, jangan sekali-kali menghidangkan steak, tapi sajikan nasi gudeg, mangut, sayur daun kelor, ikan tuna, aneka olahan sagu, dan lain-lain. Soal di lidah mereka cocok atau tidak, itu soal lain. Tapi kesan yang kita berikan, itu yang akan mereka ingat sepanjang hidupnya, begitulah memang.
Keberpihakan Lokal
Nah, kembali ke Nihi Sumba. Hotel resort ini benar-benar menjual eksotisme alam Sumba. Harganya pun tidak murah. Salah satu kamar di resort ini ada yang tarifnya 10.000 dollar AS per malam, atau setara dengan Rp 150 juta per malam.
Eksotisme Nihi juga terletak pada SDM yang 90 persen lokal. Mungkin Anda bertanya, darimana mendapatkan SDM hospitality yang unggul? Anda jangan salah. Di sana ada Sumba Hospitality Foundation. Di situlah tempat putra-putri Sumba belajar hospitality.
Yang patut diacungi jempol adalah soal keberpihakan foundation kepada peningkatan kualitas SDM masyarakat Sumba. Bayangkan, setiap murid hanya dikenakan biaya Rp 1,5 juta untuk masa belajar selama 18 bulan. Sementara, biaya pendidikan selama 18 bulan itu tak kurang dari Rp 75 juta. Itu artinya, foundation mensubsidi sekitar 97,5 persen dari total biaya.
Di Sumba Hospitality Foundation itulah mereka digembleng menjadi hotelier yang mumpuni. Semua pelajaran tentang food & beverage, front desk, housekeeping, sampai kepada sales & marketing, bahkan event organizer. Lulusan Sumba Hospitality tidak saja terserap di Nihi, tetapi bahkan sudah ada yang bekerja di banyak hotel mewah di luar negeri.
Di mata Doni Monardo, kolaborasi Nihi dengan Sumba Hospitality Foundation adalah contoh yang patut ditiru dan dikembangkan. Basisnya adalah community development. Pola pemberdayaan masyarakat, akan menjamin perbaikan strata ekonomi di daerah, serta jaminan kelestarian alam atau lingkungan.
Konsep serupa pernah dicetuskan Doni Monardo sesaat setelah kunjungannya ke Katingan, Kalimantan Tengah beberapa waktu lalu. Potensi lahan gambut di sana, sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi sebuah destinasi wisata eksklusif, dan bisa dijual mahal. Tentu saja ini bagian dari upaya mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut.
Matahari sudah lama lelap dalam peraduan. Begitu banyak yang kami bincangkan malam itu.
Saya pun ber kelakar, “kita harus kuatkan kementrian PU dan Perhubungan, PU tugasnya membangun jalan, utamanya akses ke objek wisata, sedangkan kementrian perhubungan memperbanyak bandara dan pelabuhan demi kemudahan dan kenyamanan akses. Tonjolkan keunggulan yang tidak dimiliki negara lain. Niscaya, Indonesia akan kokoh menjadi surganya wisatawan dunia.”
Sebagai bentuk kelakar, ya sekedar kelakar. Sekiranya anda kurang sepakat kelakar saya di atas, juga tidak apa apa. Tabik. (*)
) Egy Massadiah, _jurnalis senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”